| Erlangga Djumena |
Sabtu, 2 Juni 2012 | 07:07 WIB
Penghalang
kreasi hanyalah kemalasan, batasan inovasi hanyalah langit. Begitu
kira-kira prinsip hidup yang dipegang Saroji (47), pria dari Dataran
Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dengan kegigihan
memanfaatkan peluang, dia kenalkan purwaceng, flora khas Dieng, sebagai
minuman alami penambah stamina ke seantero Nusantara, bahkan hingga ke
mancanegara.
Medio tahun 1994, Saroji hanyalah penjual tiket
obyek wisata di kompleks Candi Arjuna. Kendati telah membudidayakan
purwaceng sejak lama, tumbuhan itu hanya diracik untuk keperluan
sendiri. ”Paling-paling buat tetangga atau saudara yang mau
meminumnya,” ujar warga Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur,
Banjarnegara, itu, Selasa (29/5/2012).
Dari mulut ke mulut makin
banyak orang tertarik meminum purwaceng racikan Saroji. Terlebih
setelah mengetahui khasiatnya yang membuat tubuh segar dan hangat.
Akhirnya, purwaceng racikannya mulai didengar sejumlah wisatawan.
Mereka mendatangi rumah Saroji hanya untuk meminum purwaceng.
Ide
usaha pun muncul. Tahun 2004, pria yang juga karyawan Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) Dieng pada Dinas Pariwisata Kebudayaan, Pemuda,
dan Olahraga Banjarnegara itu, mulai menggarap komoditas purwaceng
lebih serius. Modal awal Rp 5 juta disiapkan.
Saroji memulai
dengan mengolah serbat purwaceng. Kendati demikian, mengembangkan
tanaman purwaceng tidaklah mudah. Kesulitan menghadang sejak proses
penanaman.
Purwaceng (Pimpinella alpina), yang awalnya hanya
dikenal masyarakat sebagai tumbuhan liar di Gunung Perahu dan Gunung
Pakujiwo di Dataran Tinggi Dieng ini, tergolong ”rewel” memilih habitat
untuk tumbuh kembang. Tumbuhan ini juga tak dapat ditanam di sembarang
lokasi di hamparan Dataran Tinggi Dieng yang diketahui merupakan
daerah asalnya.
Dari sejak ditanam hingga bisa dipanen, purwaceng
butuh waktu sekitar dua tahun. Bila sudah dua tahun, akarnya akan
berwarna kuning. Selain itu, tanaman yang diyakini berkhasiat menambah
vitalitas pria dewasa ini tidak membutuhkan pupuk kimia.
”Pernah
ada petani menanam purwaceng dengan pupuk kimia, tetapi menyebabkan
rasanya jadi pahit. Selain itu, purwaceng olahan saya juga tanpa bahan
pengawet. Murni produk herbal,” ujar Saroji, yang sering mewakili
Kabupaten Banjarnegara ke sejumlah pameran berskala nasional dan
regional.
Setelah dipanen, batang dan akar purwaceng dicuci
bersih dan kemudian dijemur. Batang dan akar tadi yang kering ditumbuk
halus hingga seperti tepung. Awalnya, pengolahan ini menjadi proses
yang melelahkan dan menyita waktu. Semua dikerjakan Saroji bersama
Sulastri (44), istrinya.
”Untuk menambah rasa, atas saran istri,
ditambahkan bubuk kopi, teh, atau susu. Ternyata, konsumen semakin
menyukainya,” ujar Saroji.
Sporadis ke wisatawan
Untuk
pemasaran, awalnya Saroji hanya menjual serbuk purwaceng yang dikemas
sederhana ini secara sporadis kepada wisatawan di Dieng. Saroji
mengenang, dia bisa menawarkan serbuk purwaceng hingga malam hari. Mulai
dari kompleks candi sampai mendatangi losmen dan penginapan para
turis.
Minim pendidikan formal tak menyurutkan Saroji belajar
pemasaran. Dia kemudian menempuh metode pemasaran berjaringan. Saroji
menjalin kerja sama dengan sejumlah agen wisata dan pemerintah
setempat. Alhasil, kios purwaceng Saroji di kompleks Candi Arjuna
menjadi salah satu destinasi wajib wisatawan. Produknya pun diakui
menjadi salah satu oleh-oleh khas Dieng.
Konsep ini terbukti
ampuh menjaring konsumen. Seiring meningkatnya pesanan, Saroji mulai
merekrut karyawan untuk produk purwaceng yang diberi label Tri Sakti.
Tak hanya di bagian pengemasan dan pemasaran, Saroji juga memberdayakan
sejumlah petani Dieng untuk menanam purwaceng. Hasilnya diserap
industri rumahan milik Saroji.
Saroji kini dibantu 12 karyawan
memproduksi purwaceng dalam berbagai kemasan. Akar purwaceng dalam
botol dijual Rp 25.000 per botol. Untuk kemasan serbuk tersedia dalam
kemasan sachet berbagai aroma serta botol. Untuk satu sachet dengan
pilihan aroma teh, kopi, dan susu dijual dalam dos berisi 6 sachet Rp
25.000 per dos. Serbuk purwaceng murni tanpa rasa Rp 125.000 per botol.
Saroji
mengolah 5 kilogram purwaceng per bulan yang menghasilkan 10.000
kemasan kecil siap seduh. Produksi dilakukan seminggu sekali. Produk
dikirim ke Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan.
Selain itu. produk Tri Sakti pun sudah melanglang buana hingga Jerman,
Italia, dan Belanda.
”Kebanyakan pemesan luar negeri adalah
wisatawan yang pernah ke Dieng dan merasakan khasiat purwaceng.
Pesanannya bisa berdos-dos. Saya biasa menitipkan melalui agen-agen
travel,” ujar Saroji yang omzet penjualannya kini sekitar Rp 75 juta per
bulan.
Supaya lebih representatif, Saroji membangun toko
sekaligus tempat kerja di tepi jalan utama di sekitar kompleks Candi
Arjuna Dieng. Di tempat itu, wisatawan dimungkinkan menyaksikan proses
peracikan purwaceng dari awal hingga selesai.
Keberhasilan semacam
ini tak lantas menghentikan ide inovasi ayah empat anak ini. Saroji
masih menyimpan asa menyempurnakan kualitas kemasannya supaya setara
dengan kemasan kopi instan yang banyak di pasaran saat ini agar lebih
marketable kendati dia sadar butuh modal yang tak kecil untuk membeli
mesin pengemasan seperti itu.
Lewat tangan dingin Saroji,
Purwaceng yang awalnya hanya dianggap tanaman liar itu pun naik kasta
menjadi salah satu ikon wisata Dataran Tinggi Dieng. Dia yakin, suatu
saat gengsi tanaman ini akan dikenal di mancanegara sebagai
”ginseng”-nya Indonesia. ”Gingseng” ala Indonesia.
KOMPAS / GMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar